Realitas Baru Perpolitikan di Indonesia
RUU Partai
Politik yang baru sebagai pengganti UU No. 2 tahun 2008, baru saja disetujui
DPR menjadi UU pada rapat paripurna 16 Desember 2010. Belum cukup satu bulan,
dan bahkan belum mendapat registrasi dalam lembaran negara, 24 partai polirik
non-parlemen yang tergabung dalam Forum Persatuan Nasional (FPN), telah
mengajukan uji formil dan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Bagaimana kita
semua menanggapi mengenai hal ini?
Kalau kita berfikir realistis, sebenarnya rakyat Indonesia sudah jenuh, capek melihat hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia, apalagi menjelang pemilu yang digelar setiap 5 tahun sekali. Sejak tahun 1999, dimulainya era reformasi, telah bermunculan 48 Partai Politik yang ikut Pemilu tahun tersebut. Tahun 2004 menyusut menjadi 24 Partai Politik, dan tahun 2009 berkembang kembali menjadi 44 aprtai Politik nasional dan lokal. Kemudian, melalui UU Pemilu, dilakukan “seleksi alamiah” pengaturan partai-partai politik yang bisa menempatkan wakilnya di DPR-RI melalui ketentuan parliamentary threshold 2,5%. Ketentuan ini akan dibahas kembali dalam RUU Pemilu yang sedang ditangani oleh DPR-RI, dan akan menjadi agenda untuk diselesaikan paling tidak sampai akhir tahun 2011. Ketentuan parliamentary threshold ini jelas akan mengundang reaksi dari partai-partai politik kecil.
Sebenarnya, penyederhanaan partai politik ini dimaksudkan untuk mewujudkan realitas baru perpolitikan di Indonesia. Realitas baru tersebut diharapkan akan menyokong terjadinya proses transformasi besar-besaran dalam tradisi perpolitikan di Indonesia. Setidaknya ada 4 macam transformasi yang akan terjadi.
Pertama, transformasi dari politik aliran menuju politik kesejahteraan/kemanusiaan. Orang nanti tidak lagi melihat ideologi sebagai satu-satunya platform yang perlu diagungkan, tetapi orang akan melihat, bagaimana partai-partai politik dapat membangun kebersamaan dalam mewujudkan kesejahteraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan.
Kedua, tranformasi dari politik pencitraan menjadi politik konten. Karena itu, iklan-iklan politik sekarang mengalami inflasi. Kata-kata dalam iklan itu menjadi sangat artifisial karena yang ingin dilihat orang adalah artikulasi yang bersifat nyata (live).
Ketiga, tranformasi dari tokoh kharismatik kepada tokoh kinerja. Akan ada tranformasi, bahwa masyarakat semakin mengutamakan tokoh yang berbasis kinerja daripada tokoh yang berbasis kharisma. Hal ini merupakan salah satu perspektif penting dalam komunitas urban. Karena itu, disini, ikatan-ikatan primordial bisa jadi tidak relevan lagi.
Keempat, transformasi dari orientasi kekuasaan kepada oriantasi kepemimpinan. Bahwa politik tidak bisa lagi dipresepsi sebagai sarana untuk mengejar ambisi kekuasaan. Hal ini tidak akan mendapat tempat di masyarakat, seiring dengan realitas-realitas baru.
Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, saya berpendapat, partai yang akan memenangkan Pemilu, bukan lagi partai yang canggih dengan jargon-jargon politik, tetapi partai yang mengedepankan inovasi dan solusi, fresh dengan ide-idenya, yang akan dapat membangun kembali rasa bangga setiap insan Indonesia/anak bangsa terhadap tanah air. Siapa yang memiliki ide-ide segar untuk membangun Indonesia ke depan, dialah yang akan memimpin Indonesia.
Kalau kita berfikir realistis, sebenarnya rakyat Indonesia sudah jenuh, capek melihat hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia, apalagi menjelang pemilu yang digelar setiap 5 tahun sekali. Sejak tahun 1999, dimulainya era reformasi, telah bermunculan 48 Partai Politik yang ikut Pemilu tahun tersebut. Tahun 2004 menyusut menjadi 24 Partai Politik, dan tahun 2009 berkembang kembali menjadi 44 aprtai Politik nasional dan lokal. Kemudian, melalui UU Pemilu, dilakukan “seleksi alamiah” pengaturan partai-partai politik yang bisa menempatkan wakilnya di DPR-RI melalui ketentuan parliamentary threshold 2,5%. Ketentuan ini akan dibahas kembali dalam RUU Pemilu yang sedang ditangani oleh DPR-RI, dan akan menjadi agenda untuk diselesaikan paling tidak sampai akhir tahun 2011. Ketentuan parliamentary threshold ini jelas akan mengundang reaksi dari partai-partai politik kecil.
Sebenarnya, penyederhanaan partai politik ini dimaksudkan untuk mewujudkan realitas baru perpolitikan di Indonesia. Realitas baru tersebut diharapkan akan menyokong terjadinya proses transformasi besar-besaran dalam tradisi perpolitikan di Indonesia. Setidaknya ada 4 macam transformasi yang akan terjadi.
Pertama, transformasi dari politik aliran menuju politik kesejahteraan/kemanusiaan. Orang nanti tidak lagi melihat ideologi sebagai satu-satunya platform yang perlu diagungkan, tetapi orang akan melihat, bagaimana partai-partai politik dapat membangun kebersamaan dalam mewujudkan kesejahteraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan.
Kedua, tranformasi dari politik pencitraan menjadi politik konten. Karena itu, iklan-iklan politik sekarang mengalami inflasi. Kata-kata dalam iklan itu menjadi sangat artifisial karena yang ingin dilihat orang adalah artikulasi yang bersifat nyata (live).
Ketiga, tranformasi dari tokoh kharismatik kepada tokoh kinerja. Akan ada tranformasi, bahwa masyarakat semakin mengutamakan tokoh yang berbasis kinerja daripada tokoh yang berbasis kharisma. Hal ini merupakan salah satu perspektif penting dalam komunitas urban. Karena itu, disini, ikatan-ikatan primordial bisa jadi tidak relevan lagi.
Keempat, transformasi dari orientasi kekuasaan kepada oriantasi kepemimpinan. Bahwa politik tidak bisa lagi dipresepsi sebagai sarana untuk mengejar ambisi kekuasaan. Hal ini tidak akan mendapat tempat di masyarakat, seiring dengan realitas-realitas baru.
Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, saya berpendapat, partai yang akan memenangkan Pemilu, bukan lagi partai yang canggih dengan jargon-jargon politik, tetapi partai yang mengedepankan inovasi dan solusi, fresh dengan ide-idenya, yang akan dapat membangun kembali rasa bangga setiap insan Indonesia/anak bangsa terhadap tanah air. Siapa yang memiliki ide-ide segar untuk membangun Indonesia ke depan, dialah yang akan memimpin Indonesia.